Saya tutup
pembicaraan ini dengan menyebutkan sebuah hadits dari Shahih al-Bukhari
yang menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang terjerumus kepada
kekufuran maka dirinya menjadi kafir dengan serta merta.
Diriwayatkan oleh dua sahabat besar Nabi, Abu Sa’id al-Khudri dan
Hudzaifah bin al-Yaman –Radhiyallahu ‘anhuma- mereka berkata,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
“Dahulu pada
zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang lelaki yang sedang
sekarat, lalu ia mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya. Ia
berkata kepada mereka, “Bapak seperti apakah aku ini di mata
kalian?” mereka menjawab, “sebaik-baik bapak”. Dia
melanjutkan, “Sesungguhnya aku belum pernah berbuat kebajikan
sekecil apapun, jika Alloh menakdirkanku maka Ia akan menyiksaku
dengan siksa yang amat keras. Jika aku mati, bawalah mayatku dan
bakarlah dengan api kemudian sebagian debunya hamparkan di atas
lautan dan sebagian lagi biarkan diterpa angin.” Lalu diapun mati.
Anak-anaknya kemudian membakarnya dan membiarkan separuh debunya
diterpa angin dan separuhnya lagi dihamparkan di lautan. Alloh
Azza wa Jalla lalu berfirman kepada debunya yang beterbangan di
udara, “jadilah fulan” maka ia pun menjadi fulan.
Alloh Azza wa Jalla lalu berfirman kepadanya, “hai
hambaku, apa yang menyebabkanmu berbuat demikian?” ia menjawab,
“Rabbku, sesungguhnya (Engkau telah tahu) aku melakukannya
karena takut kepada-Mu.” Alloh berfirman lagi kepadanya,
“pergilah, karena Aku telah mengampunimu.”
Ada sebuah
pertanyaan, apakah lelaki itu kufur dengan ucapannya, “Apabila
Alloh menakdirkanku…” ataukah ia tidak kufur? Iya, dia telah
kufur, namun Alloh mengampuninya.
Kita telah tahu pula dari al-Qur’an
al-Karim bahwa Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik dan akan
mengampuni dosa selainnya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya[20].
Bagaimana kita memahami hadits ini sebagai penerang makna yang jelas
dari al-Qur’an? (Maknanya) yaitu bahwa Alloh takkan mengampuni dosa
syirik yang disengaja. Bagaimana menurut Anda syarat (disengaja) ini?
Ini benar. Namun apakah ada syarat ini di dalam ayat tadi?
Tidak,
tidak ada… lantas dari mana kita memperoleh (syarat) ini?? Ini dari
syariat. Hal ini tadi diambil hanya dari satu buah hadits atau satu
buah ayat saja, namun hal ini diambil dari kombinasi antara keduanya
yang berkaitan dengan permasalahan.
Maka
dari itu, bukan hanya dalam pembahasan fikih saja dibutuhkan
kombinasi dari seluruh nash yang berkaitan hingga kita
mengetahui mana nash yang nasikh dan yang mansukh,
mana yang ‘am (umum) dari yang khash (khusus),
mutlak dan muqoyyad, dan lain lain… Bahkan sebenarnya,
hal ini lebih diperlukan di dalam masalah aqidah.
Ketika
para ulama menjelaskan ayat,
“Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik
dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
”
(QS
An-Nisa’ : 48)
mereka
biasanya tidak sampai sedetail ini di dalam memahaminya karena
masalah ini cukup jelas bagi mereka sehingga tidak memerlukan lagi
tafshil (detail) yang seperti ini. Namun ketika musykilah
(problematika) dan perkara yang membingungkan muncul pada saat ini,
maka diperlukan ulama yang alim yang menjelaskannya sebatas ilmu
yang ia miliki. Jadi orang yang membuat permohonan ini (yang
disebutkan di dalam hadits di atas, pent.) tidak
membayangkan bahwa permohonannya tersebut mengandung kesalahan dan
kesesatan yang tiada bandingannya. Ia meminta supaya dirinya dibakar
dalam rangka untuk bersembunyi dari tuhannya, padahal Alloh
Subhanahu berfirman : “
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa
kepada kejadiannya; ia berkata:
"Dan
ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya;
ia berkata: "Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali
yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.”
(QS
Yasin : 78-79)
Namun setelah itu
tuhan kita mengampuninya. Mengapa? Karena kekufuran tidak merasuk ke
dalam hati orang itu. Hal ini dikarenakan ia membayangkan
dosa-dosanya dan rasa takutnya kepada Alloh apabila ia bertemu
dengan-Nya, bahwa Alloh akan mengadzabnya dengan siksa yang amat
pedih. Rasa takut dan kekhawatirannya membutakan dirinya dari aqidah
yang shahih sehingga ia membuat permohonan tersebut. Dan
hadits ini jelas (menunjukkan ampunan Alloh, pent.)
dimana Alloh Ta’ala berfirman kepadanya, “Pergilah karena
Aku telah mengampunimu”.
Tidak sepatutnya
kita membayangkan bahwa Sayyid Quthb terjerumus kepada Wahdatul
Wujud (Pantheisme) sebagaimana Ibnu ‘Arabi -misalnya-,
bahwasanya dirinya, yakni Sayyid Quthb, bermaksud demikian dan
hatinya terikat atasnya, sebagaimana Ibnu ‘Arabi yang telah
menyesatkan jutaan kaum muslimin shufiyin dan lain lain.
Mungkin… masih tertinggal pemahaman sufi yang terdetik di dalam
benaknya atau terbesit di dalam hatinya ketika ia masih dipenjara,
sedangkan dia tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hal ini.
Kemudian ia menulis suatu pernyataan yang mana akulah orang pertama
yang mengkritisinya.
Kita tidak bisa
menghukuminya sebagai kafir, karena kita tidak tahu apakah kekufuran
telah merasuk ke dalam hatinya atau hujjah (bukti) akan
kesalahan tulisan atau pemikirannya telah dijelaskan padanya,
terutama pada saat dirinya dipenjara. Aku tidak berfikir bahwa hal
itulah masalahnya. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengaitkan
antara seorang muslim yang melakukan kekufuran dengan orang yang
benar-benar kafir semenjak awalnya. Kita tidak mengaitkan dua hal
ini sekaligus. Ini yang pertama. Dan tahdzir (peringatan)
akan hal ini telah berulang-ulang. Dan tentu saja -yang kedua-, kita
tidak membedakan antara bid’ah di dalam aqidah dan bid’ah di dalam
ibadah, karena adakalanya keduanya merupakan kesesatan dan
adakalanya merupakan kekufuran. Mungkin jawaban ini sudah cukup
wahai Abu Abdurrahman…?
0 komentar:
Posting Komentar
BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA