009



HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR
TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU
 
Penanya :
Untuk melengkapi manfaat dari pembahasan kita ini, yaitu pembahasan yang berkaitan dengan sejumlah pertanyaan yang telah diajukan hari ini, saya akan menyebutkan tentang ucapan mereka (para pemuda yang ghuluw, pent.) ketika kami dinasehati bahwa kami tidak seharusnya bertarahum terhadap mereka (para imam yang disebutkan di pertanyaan pertama, pent.), tarahum terhadap mereka tidak wajib namun hanya suatu hal yang mubah (diperbolehkan). Kami tidak mengharamkan tarahum terhadap mereka. Hanya saja kami menghindari bertarahum terhadap mereka dalam rangka untuk menjauhi segala bentuk pujian atau tazkiyah terhadap ahlul bid’ah.
Lalu, tentang orang-orang yang tidak kami nyatakan sebagai ahlul bid’ah, kami hanyalah tidak memuji mereka dan menyebut mereka sebagai imam atau ulama terkemuka. Sebagai contoh jika ada sebuah perkataan disandarkan kepada an-Nawawi, maka kami tidak mengatakan “imam Nawawi berkata”… atau bahkan mereka (para pemuda yang ghuluw tadi, pent.) menghindari dari mengambil riwayat dari beliau atau menukil ucapan beliau ataupun bahkan menisbatkan suatu pernyataan kepada beliau.
Beberapa ikhwan meriwayatkan dari riwayat yang berasal dari orang-orang ini, dan dikatakan kepadanya, “bagaimana bisa Anda meriwayatkan dari orang-orang ini? Orang yang terakhir disebutkan tidaklah sama dengan orang yang pertama (disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi, pent.) seperti Ibnu Hajar dan an-Nawawi, tapi (mereka) semisal Sayyid Quthb atau Muhammad Quthb”. Mereka berkata, “Bagaimana bisa Anda mengambil riwayat dari orang-orang ini padahal Anda telah tahu secara pasti bahwa mereka ini bukanlah salafiyin? Jadi… Anda sebagai seorang salafiy, apabila Anda turut mengambil riwayat dari mereka, maka Anda telah memuji mereka dan memberikan tazkiyah kepada orang-orang yang bukan salafiyin. Hal ini merupakan cara yang menyebabkan para pemuda yang masih baru (belajar) menjadi bingung dan tertipu mengenai orang-orang ini, atau mungkin dapat menyebabkan para pemuda ini menjadi seperti mereka di dalam kebid’ahan dan penyimpangan mereka serta jauh dari manhaj yang haq!!!”
Bagaimana komentar Anda –wahai Syaikh terhadap pernyataan ini???

Syaikh :
Saya tidak yakin bahwa ini adalah maksud mereka, ini yang pertama. Yang kedua, jika ini memang benar maksud mereka, (maka aku tidak percaya) bahwa ini adalah ushlub (cara) yang diterima di dalam mentarbiyah umat atau menyadarkan mereka. Orang-orang yang Anda sebutkan ini, apakah mereka membaca Fathul Bari’ atau tidak?? Jika mereka membacanya maka mereka telah salah, namun jika mereka mengatakan, “kami tidak membacanya” maka dari manakah mereka akan mendapatkan pemahaman tentang Shahih al-Bukhari??? Baik itu syarh (penjelasan) mengenai fikih, perbedaan pendapat, ilmu mustholah-nya dengan seluk beluknya baik dari segi istilah ataupun pemahamannya… mereka tidak akan menemukan seorang pensyarh Shahih al-Bukhari di manapun di dunia ini sebagai salafiy menurut definisi yang mereka miliki. Sekalipun ada, itu hanyalah syarh singkat tentangnya.
Karena “samudera ilmu yang luas” (al-Baari`) ini membuka (fath) bagi penulis Fathul Bari’, dan tidaklah ditemukan suatu buku apapun yang sepadan dengannya (Fathul Bari`). Dengan demikian, mereka bakal  rugi dan kehilangan sebagian besar ilmu, apabila mereka memaksudkan untuk mentahdzir (memperingatkan) umat supaya mau menjauhinya, yang mana hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil manfaat dari penjelasan para a`immah dan ulama’ yang besar ini, sehingga mereka telah kehilangan ilmu. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk menghimpun perkara yang benar dan menghindari perkara yang berbahaya atau menyimpang darinya, sebagaimana cara yang ditempuh oleh para ulama.
Tak ada satupun ulama setelah masa Ibnu Hajar al-Asqolani atau an-Nawawi yang dapat memahami Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tanpa beristifadah (memetik faidah) dari Syarh mereka berdua. Para ulama banyak yang ber­istifadah dari kedua buku kedua ulama besar ini pada sebagian besar permasalahan, padahal (mereka tahu) keduanya terpengaruh pemahaman Asy’ariyah dan menyelisihi manhaj as-Salaf ash-Shalih dalam hal ini. Namun mereka (para ulama tersebut) dapat mengambil ilmu dari kedua buku ini dengan cara mengambil ilmunya yang benar dan bermanfaat dan meninggalkan yang salah. Saya khawatir akan ucapan-ucapan mereka (para pemuda yang ghuluw, pent.) –yang telah disebutkan tadi- bahwa ada suatu tahdzir untuk mengambil manfaat dari buku-buku mereka, yang mana hal ini adalah suatu kerugian yang sangat besar sekali…
Jika mereka mengatakan, “tidak, kami juga beristifadah dari buku-buku mereka, kami membacanya dan mempelajarinya!”, kalau begitu, apa manfaat manhaj mereka tadi? Yang mana mereka melarang bertarahum terhadap para ulama ini, padahal para ulama ini adalah jelas-jelas muslim sebagaimana yang telah kami utarakan di awal pembahasan tadi. Lebih jauh lagi, apa manfaatnya ucapan mereka, “kami tidak melarang tarahum terhadap para ulama ini namun hanya saja kami tidak mau melakukannya”. Mengapa? “Karena mereka melakukan kebid’ahan.”
Padahal telah kami paparkan di muka tadi, bahwa tidaklah setiap orang yang membuat suatu kebid’ahan maka dengan serta merta ia dianggap mubtadi’ dan tidak pula setiap orang yang melakukan perbuatan kufur dengan serta merta ia menjadi kafir. Bagi orang tersebut (para pelaku bid’ah), kebid’ahan adalah suatu hal yang masih terselubungi dengan syubuhat (kesamaran) dan lainnya, kekufuran juga masih syubuhat atas mereka. Oleh karena itu, perbuatan ini bukanlah suatu perbuatan yang jelas bid’ah atau kufur (di mata mereka). Dengan demikian, menyebut mereka begitu (mubtadi’ atau kafir) sebagai bentuk pencegahan tidaklah bermanfaat.
Selanjutnya, wahai ikhwan salafiyin –yang kholafiy-,[18] apakah para ulama yang kita mewarisi dakwah sholihah ini dari mereka, apakah begini ini sikap mereka terhadap ulama?!! Ataukah ini merupakan sikapnya jama’ah baru yang mengklaim sebagai salafiyin?! Yang benar adalah kebalikannya! Mereka seharusnya seperti para salaf (pendahulu) kita di dalam menempuh dakwah yang shalihah ini.


[18]. Maksudnya Syaikh berkata demikian adalah ‘orang-orang kholaf (kontemporer) yang meniti manhaj salaf’, atau mungkin syaikh bermaksud bahwa banyaknya orang-orang yang mengaku sebagai salafi namun pada hakikatnya adalah kholafi. Allohu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA