HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR
TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS
AL-IMAM AL-MUHADDITS
MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU
Penanya :
Untuk melengkapi manfaat dari pembahasan kita ini, yaitu pembahasan
yang berkaitan dengan sejumlah pertanyaan yang telah diajukan hari
ini, saya akan menyebutkan tentang ucapan mereka (para pemuda yang
ghuluw, pent.) ketika kami dinasehati bahwa kami
tidak seharusnya bertarahum terhadap mereka (para imam yang
disebutkan di pertanyaan pertama, pent.), tarahum
terhadap mereka tidak wajib namun hanya suatu hal yang mubah
(diperbolehkan). Kami tidak mengharamkan tarahum terhadap
mereka. Hanya saja kami menghindari bertarahum terhadap
mereka dalam rangka untuk menjauhi segala bentuk pujian atau
tazkiyah terhadap ahlul bid’ah.
Lalu, tentang orang-orang yang tidak kami nyatakan
sebagai ahlul bid’ah, kami hanyalah tidak memuji mereka dan menyebut
mereka sebagai imam atau ulama terkemuka.
Sebagai contoh jika ada sebuah perkataan disandarkan kepada an-Nawawi,
maka kami tidak mengatakan “imam Nawawi berkata”… atau bahkan
mereka (para pemuda yang ghuluw tadi, pent.)
menghindari dari mengambil riwayat dari beliau atau menukil ucapan
beliau ataupun bahkan menisbatkan suatu pernyataan kepada beliau.
Beberapa ikhwan
meriwayatkan dari riwayat yang berasal dari orang-orang ini, dan
dikatakan kepadanya, “bagaimana bisa Anda meriwayatkan dari
orang-orang ini? Orang yang terakhir disebutkan tidaklah sama dengan
orang yang pertama (disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi,
pent.) seperti Ibnu Hajar dan an-Nawawi, tapi (mereka)
semisal Sayyid Quthb atau Muhammad Quthb”. Mereka berkata,
“Bagaimana bisa Anda mengambil riwayat dari orang-orang ini padahal
Anda telah tahu secara pasti bahwa mereka ini bukanlah salafiyin?
Jadi… Anda sebagai seorang salafiy, apabila Anda turut
mengambil riwayat dari mereka, maka Anda telah memuji mereka dan
memberikan tazkiyah kepada orang-orang yang bukan
salafiyin. Hal ini merupakan cara yang menyebabkan para pemuda
yang masih baru (belajar) menjadi bingung dan tertipu mengenai
orang-orang ini, atau mungkin dapat menyebabkan para pemuda ini
menjadi seperti mereka di dalam kebid’ahan dan penyimpangan mereka
serta jauh dari manhaj yang haq!!!”
Bagaimana komentar
Anda –wahai Syaikh terhadap pernyataan ini???
Syaikh :
Saya tidak yakin bahwa ini adalah maksud mereka, ini yang pertama.
Yang kedua, jika ini memang benar maksud mereka, (maka aku tidak
percaya) bahwa ini adalah ushlub (cara) yang diterima di
dalam mentarbiyah umat atau menyadarkan mereka. Orang-orang
yang Anda sebutkan ini, apakah mereka membaca Fathul Bari’
atau tidak?? Jika mereka membacanya maka mereka telah salah, namun
jika mereka mengatakan, “kami tidak membacanya” maka dari manakah
mereka akan mendapatkan pemahaman tentang Shahih al-Bukhari???
Baik itu syarh (penjelasan) mengenai fikih, perbedaan
pendapat, ilmu mustholah-nya dengan seluk beluknya baik dari
segi istilah ataupun pemahamannya… mereka tidak akan menemukan
seorang pensyarh Shahih al-Bukhari di manapun di dunia
ini sebagai salafiy menurut definisi yang mereka miliki.
Sekalipun ada, itu hanyalah syarh singkat tentangnya.
Karena “samudera
ilmu yang luas” (al-Baari`) ini membuka (fath) bagi
penulis Fathul Bari’, dan tidaklah ditemukan suatu buku
apapun yang sepadan dengannya (Fathul Bari`). Dengan demikian,
mereka bakal rugi dan kehilangan sebagian besar ilmu, apabila
mereka memaksudkan untuk mentahdzir (memperingatkan) umat
supaya mau menjauhinya, yang mana hal ini menyebabkan mereka tidak
dapat mengambil manfaat dari penjelasan para a`immah dan
ulama’ yang besar ini, sehingga mereka telah kehilangan ilmu.
Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk menghimpun perkara yang
benar dan menghindari perkara yang berbahaya atau menyimpang darinya,
sebagaimana cara yang ditempuh oleh para ulama.
Tak ada satupun ulama setelah masa Ibnu Hajar al-Asqolani
atau an-Nawawi yang dapat memahami Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim tanpa beristifadah (memetik faidah) dari
Syarh mereka berdua. Para ulama banyak yang beristifadah
dari kedua buku kedua ulama besar ini pada sebagian besar
permasalahan, padahal (mereka tahu) keduanya terpengaruh pemahaman
Asy’ariyah
dan menyelisihi manhaj as-Salaf ash-Shalih dalam hal ini.
Namun mereka (para ulama tersebut) dapat mengambil ilmu dari kedua
buku ini dengan cara mengambil ilmunya yang benar dan bermanfaat dan
meninggalkan yang salah. Saya khawatir akan ucapan-ucapan mereka (para
pemuda yang ghuluw, pent.) –yang telah disebutkan
tadi- bahwa ada suatu tahdzir untuk mengambil manfaat dari
buku-buku mereka, yang mana hal ini adalah suatu kerugian yang
sangat besar sekali…
Jika mereka
mengatakan, “tidak, kami juga beristifadah dari buku-buku
mereka, kami membacanya dan mempelajarinya!”, kalau begitu, apa
manfaat manhaj mereka tadi? Yang mana mereka melarang bertarahum
terhadap para ulama ini, padahal para ulama ini adalah jelas-jelas
muslim sebagaimana yang telah kami utarakan di awal pembahasan tadi.
Lebih jauh lagi, apa manfaatnya ucapan mereka, “kami tidak melarang
tarahum terhadap para ulama ini namun hanya saja kami tidak
mau melakukannya”. Mengapa? “Karena mereka melakukan kebid’ahan.”
Padahal telah kami
paparkan di muka tadi, bahwa tidaklah setiap orang yang membuat
suatu kebid’ahan maka dengan serta merta ia dianggap mubtadi’
dan tidak pula setiap orang yang melakukan perbuatan kufur dengan
serta merta ia menjadi kafir. Bagi orang tersebut (para pelaku
bid’ah), kebid’ahan adalah suatu hal yang masih terselubungi dengan
syubuhat (kesamaran) dan lainnya, kekufuran juga masih
syubuhat atas mereka. Oleh karena itu, perbuatan ini bukanlah
suatu perbuatan yang jelas bid’ah atau kufur (di mata mereka).
Dengan demikian, menyebut mereka begitu (mubtadi’ atau kafir)
sebagai bentuk pencegahan tidaklah bermanfaat.
Selanjutnya, wahai ikhwan salafiyin
–yang kholafiy-,[18]
apakah para ulama yang kita mewarisi dakwah sholihah ini dari
mereka, apakah begini ini sikap mereka terhadap ulama?!! Ataukah ini
merupakan sikapnya jama’ah baru yang mengklaim sebagai
salafiyin?! Yang benar adalah kebalikannya! Mereka seharusnya
seperti para salaf (pendahulu) kita di dalam menempuh dakwah
yang shalihah ini.
[18].
Maksudnya Syaikh berkata demikian adalah ‘orang-orang kholaf
(kontemporer) yang meniti manhaj salaf’, atau mungkin syaikh
bermaksud bahwa banyaknya orang-orang yang mengaku sebagai salafi
namun pada hakikatnya adalah kholafi.
Allohu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA