Penanya :
Benar wahai syaikh.
Syaikh :
Lantas, bagaimanakah kita menjawab ucapan Imam Ahmad yang mengatakan, “barang siapa yang mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah seorang jahmiy”? Apa yang kita katakan terhadap ucapan ini? Tidak ada jawaban melainkan dengan apa yang telah kusebutkan pada kalian sebelumnya, yaitu hal ini bermakna sebagai peringatan terhadap kaum muslimin untuk menjauhi ucapan yang dapat digunakan oleh ahlul bid’ah dan para pengikut kesesatan –jahmiyah- untuk menjajakan pemahamannya. Hal ini dikarenakan seseorang boleh jadi mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” dalam rangka menjebak orang-orang yang ada di sekitarnya, dengan maksud bahwa al-Qur’an itu sendirilah yang makhluk.
Namun, tidak mesti setiap orang yang mengatakan demikian –“bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” memiliki maksud yang sama buruknya, sebagaimana ucapan Imam Bukhari tadi, yang mana beliau tidak perlu tazkiyah (pujian) dari kita karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang telah melakukannya (memujinya, ed.) dengan menjadikan bukunya sebagai buku yang diterima menurut kesepakatan kaum muslimin setelah kitabullah terhadap segala perkara yang mereka perselisihkan di tengah-tengah mereka.
Oleh karena itu, ketika beliau mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk”, maka sesungguhnya yang beliau maksudkan adalah maksud yang benar. Sedangkan Imam Ahmad, beliau mengatakan perkataan yang keluar dari rasa takut beliau, yaitu ‘barangsiapa yang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah demikian’, maka yang beliau maksudkan adalah sebuah bentuk peringatan bukan suatu prinsip keimanan… prinsip keimanan yang jika ada orang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah seorang jahmiy. Apabila kita dapatkan ada sebagian pernyataan sebagian ulama salaf yang menghukumi seseorang yang jatuh kepada kebid’ahan sebagai mubtadi’, maka pernyataan ini harus diambil dari sudut pandang bahwa pernyataan tersebut adalah suatu bentuk peringatan, bukan suatu pernyataan I’tiqodiyah.
Mungkin, layak kiranya saya sebutkan suatu kejadian tentang ucapan Imam Malik yang telah ma’ruf (diketahui) dengan baik, ketika beliau ditanya ‘bagaimana istiwa’ (bersemayam)-nya Alloh?’ beliau berkata, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Riwayat terkenal ini terjadi ketika seseorang datang kepada Imam Malik dan menanyakan tentang kaifiyat istiwa’ Alloh. Imam Malik menjawab, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Penanya ini tidak dengan serta merta menjadi seorang mubtadi’ hanya dengan sekedar bertanya tentang hal ini. Imam Malik ingin memahamkan orang ini bahwa ia telah menyelisihi prinsip-prinsip aqidah salaf dengan mempertanyakan hakikat sifat-sifat Alloh. Makanya beliau memerintahkan untuk mengusir orang tersebut dari majlisnya, “Usirlah karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”.
Perhatikanlah, bagaimana maksudnya berbeda… apa yang akan Anda fikirkan seandainya saya atau ulama lainnya ditanya tentang hal yang sama oleh kaum muslimin yang awam ataupun suatu kelompok tertentu dari kaum muslimin yang lebih berilmu, apakah menurut Anda kami harus memberi jawaban sebagaimana yang diberikan oleh Imam Malik? Apakah kita akan mengatakan kepada orang-orang untuk mengeluarkan dia dari majlis kita karena menganggap dia seorang mubtadi’?? tidak!!! Karena masanya berbeda.
Jadi, metode yang digunakan di masa itu (Imam Malik, pent.) adalah diterima namun tidak diterima di masa sekarang ini. Karena menerapkan metode itu di zaman ini akan lebih mendatangkan madharat daripada maslahat. Kami dapat tambahkan dalam pembahasan ini mengenai prinsip muqotho’ah (isolir) atau hajr (boikot) yang telah dikenal di dalam Islam. Kami sering ditanya ini dan itu, ada seorang teman yang tidak sholat, merokok dan melakukan ini dan itu, apakah kita boikot dirinya? Saya katakan, tidak!! Anda jangan memboikotnya, karena boikotmu adalah hal yang ia inginkan darimu dan boikotmu takkan mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya. Bahkan kenyataannya adalah hal yang sebaliknya, boikotmu akan menyebabkan dirinya gembira dan ia dapat lebih leluasa meneruskan penyimpangannya.
Tidak jauh berbeda dengan hal ini adalah ucapan seorang Syaami (dari negeri Syam) berkenaan tentang adanya seorang fasik yang gemar meninggalkan sholat. Orang ini kemudian bertaubat dan akan melaksanakan sholat di Masjid untuk kali pertama, namun hanya karena ia mendapatkan pintu masjid terkunci, ia berkata, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”.
Orang fasik yang meninggalkan sholat ini, apakah ia ingin seorang muslim yang ta’at memboikotnya?? Hal ini serupa dengan misal ucapannya, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”, orang yang diboikot pun akan mengatakan hal yang serupa, “aku tidak perlu persahabatannya, aku tidak menghendaki bersama dengannya.” Hal ini dikarenakan persahabatan orang yang shalih dengan orang yang fasik akan mencegah diri si fasik bebas melakukan apa yang ia kehendaki nantinya, sedangkan orang fasik ini tidak menghendaki hal ini (ia tidak bebas melakukan kehendaknya, pent.). Jadi, boikot terhadap orang yang tidak shalih oleh orang yang shalih adalah hal yang diinginkan oleh orang yang tidak sholih tadi.
Oleh karena itu, hukum boikot di dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi suatu kemaslahatan, yaitu mendidik orang tersebut. Jadi, jika boikot tidak lagi memberi dia pelajaran, namun malah menambah kesesatannya, maka dalam kondisi seperti ini, boikot tidaklah tepat dan pas untuk diterapkan. Dengan demikian, tidaklah tepat meniru metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu pada hari ini, sebab mereka (para ulama terdahulu, pent.) dapat melakukan demikian dikarenakan posisi dan kekuatan yang mereka miliki dan adanya kemampuan untuk menanggulangi (kemaksiatan ataupun kebid’ahan, pent.).
Saat ini, lihatlah bagaimana keadaan kaum muslimin kini… mereka lemah dalam segala hal, tidak hanya dari sektor pemerintahan namun juga dari segi individunya. Keadaan ini, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika beliau bersabda, “Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing (ghurobaa’)”, beliau ditanya, “siapakah ghuroba’ itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “mereka adalah orang-orang yang shalih di tengah-tengah orang banyak, orang-orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka." (HR Muslim).
Jadi, jika kita membuka pintu pemboikotan dan mudah menvonis manusia sebagai mubtadi’, maka sebaiknya kita pergi dan menyepi di gunung-gunung. Karena yang wajib bagi kita sekarang adalah berdakwah mengajak ke jalan Rabb kita dengan cara yang hikmah dan mau`idhoh (pelajaran) yang baik serta jidal (berdiskusi) dengan mereka dengan cara yang lebih baik.[17]
[17]. Syaikh mengisyaratkan kepada al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125.
0 komentar:
Posting Komentar
BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA