007


Terakhir, saya ingin mengingatkan kalian sebuah hakikat (realita) yang tidak ada perselisihan di dalamnya, dan saya tambahkan pula suatu (kaidah) yang banyak para pemuda kita tidak pernah berfikir tentangnya. Hakikat itu adalah sabda Nabi : “Barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim maka ia telah kafir”. Ini adalah suatu hakikat yang tidak diragukan lagi. Penjelasan tentang hadits ini didapatkan pada riwayat lainnya, yaitu jika ia mengkafirkan seorang yang kafir maka ia telah benar, namun jika tidak maka vonis itu akan kembali kepadanya. Hadits ini jelas dan tidak perlu dibahas lagi.

Oleh karena itu, saya juga tambahkan dengan ucapan : Jika seorang yang menuduh seorang muslim sebagai mubtadi’, maka ia benar apabila kenyataannya demikian, namun apabila tidak maka ia sendirilah yang mubtadi’. Inilah hakikat yang telah kukemukakan barusan tadi, bahwa para pemuda kita menvonis ulama kita sebagai mubtadi’ sedangkan mereka sendirilah yang jatuh ke dalam kebid’ahan tanpa mereka sadari. Mereka sebenarnya tidaklah bermaksud melakukan kebid’ahan, bahkan mereka sebenarnya berkeinginan untuk memeranginya. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

 

Awradaha Sa’dun wa Sa’dun Musytamil

Maa haakadza ya Sa’d tuuradul ‘ibl

Sa’ad ingin menggiring unta sedangkan dirinya berselimut

Bukanlah demikian wahai sa’ad caranya menggiring unta[13]

Oleh karena itu kami nasehatkan para pemuda ini untuk senantiasa beramal dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebatas dengan ilmu yang dimilikinya, dan janganlah mereka lancang menuduh orang lain yang ilmu, faham dan kesholihannya tidak mampu mereka tandingi dan tidak pula mereka mampu membandingkan pemahaman mereka dengan orang-orang semisal mereka ini, tidak pula kejujuran mereka, yaitu orang-orang semisal an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani. Seluruh kaum muslimin di seluruh dunia mengenal kedua orang ini.

Adapun Sayyid Quthb, tinggalkan beliau!!! Karena beliau adalah orang biasa. Kami memuji atas amal dan jihadnya, namun hal ini tidaklah merubah kenyataan bahwa beliau hanyalah seorang penulis belaka. Beliau punya keahlian kesusasteraan namun beliau bukanlah seorang ulama. Jadi, tidaklah mengherankan apabila ada yang keluar dari dirinya sesuatu yang menyelisihi manhaj yang haq.[14]

Adapun orang-orang yang disebutkan beserta dirinya, seperti an-Nawawi dan Ibnu Hajar, tidak benar dan bahkan merupakan suatu kezhaliman apabila menyebut mereka sebagai mubtadi’. Saya tahu bahwa mereka terpengaruh dengan pemahaman Asy’ariyah namun mereka tidaklah sengaja dan memaksudkannya untuk menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kesalahan mereka dalam masalah aqidah hanyalah dua hal yang mereka warisi dari Asy’ariyah.

Pertama, Imam (Abul Hasan) Al-Asy’ari berpegang dengan pendapatnya tersebut dimana kenyataannya itu adalah pendapat beliau yang terdahulu dan beliau menarik seluruh pendapat-pendapat beliau yang terdahulu itu[15], dan kedua, mereka keliru menduga bahwa hal ini –aqidah Asy’ariyah- adalah suatu kebenaran padahal kenyataannya adalah sebaliknya –tidak benar-.

Penanya :

Apakah benar bahwa para ulama salaf tidak akan menghukumi seseorang sebagai ahlus sunnah yaitu berada di atas manhaj salaf kecuali apabila ia memiliki alamat (karakteristik) ahlus sunnah, dan jika ia melakukan kebid’ahan atau memuji pelaku bid’ah maka ia dianggap sebagai golongan mereka –ahlul bid’ah-??? Sebagaimana ulama salaf ada yang mengatakan, “barangsiapa yang mengatakan Alloh tidak berada di atas langit maka ia adalah seorang jahmiy.”

Syaikh :

Ada beberapa perincian dalam hal ini. Namun jangan lupa dengan apa yang telah kukemukakan di awal pembahasan tadi. Hal ini tidak menunjukkan dia sebagai bukan muslim (kafir) seperti yang telah dicontohkan di awal tadi tentang penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mensholati orang yang mengambil ghanimah tanpa izin. Hal ini dikategorikan sebagai bagian ta’dib (memberikan pelajaran) bukan bagian takfir (menvonisnya sebagai kafir).

Poin lainnya adalah riwayat dari para salaf, yang mana riwayatnya tidak banyak dan tidak semuanya bersepakat, maka tidak selayaknya mengambil permasalahan manhaj dari sebagian kecil individu atau seorang individu saja, yang kemudian manhaj ini menyelisihi amalan salaf itu sendiri.

Telah diketahui dengan jelas bahwa seorang muslim tidaklah dikatakan keluar dari lingkaran Islam dikarenakan melakukan kemaksiatan ataupun kebid’ahan. Jadi, apabila kita menemukan perkara yang menyelisihi ushul (dasar) ini, maka kita kembali kepada apa yang telah kukemukakan pada awal penjelasanku di depan, yaitu merupakan bagian dari tahdzir (peringatan) dan ta’dib (pelajaran).

Kita ambil contoh, misalnya Imam Bukhari, Apakah ada yang tidak mengenal Imam Bukhari ini??? Namun ada beberapa ulama hadits meninggalkan Imam Bukhari dan tidak meriwayatkan dari beliau. Kenapa?? Karena beliau merinci antara orang yang mengatakan “al-Qur’an makhluk” -maka ia mubtadi’ sesat dan kafir menurut pendapat lainnya yang dipegang oleh sebagian ulama-, dan antara yang mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk.”

Imam Ahmad pernah mengatakan, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa “lafazh (bacaan) al-Qur’an-ku adalah makhluk” maka ia termasuk golongan jahmiyah.”[16] Berdasarkan hal ini, orang-orang setelah zaman Imam Ahmad membuat suatu penilaian untuk tidak menerima periwayatan dari Imam Bukhari, karena beliau telah membuat suatu pernyataan yang sama dengan jahmiyah. Walaupun demikian, jahmiyah tidaklah mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an adalah makhluk, namun mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu sendirilah yang bukan kalamullah namun makhluk Alloh.

Apakah pendapat kita terhadap ucapan Imam Bukhori yang membedakan antara orang yang mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” dengan pendapat ulama hadits seperti Imam Ahmad yang mengatakan bahwa siapa yang mengatakan bacaan al-Qur’an makhluk maka ia adalah seorang jahmiy? Tidak mungkin kita mengatakan bahwa kedua pendapat di atas adalah benar, kecuali jika kita membuat suatu takwil yang shahih mengikuti dasar kaidah hukum.

Sebelum melanjutkan, saya percaya bahwa Anda akan membuat suatu perbedaan –sebagaimana diriku- terhadap orang yang mengatakan bahwa “al-Qur’an adalah makhluk” dengan orang yang mengatakan “bacaan al-Qur’an adalah makhluk”. Benar?
 


[13]. Syair ini seringkali digunakan menggambarkan orang yang berusaha melakukan suatu hal namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
 

[14]. Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari memiliki risalah yang menjelaskan tentang sikap Syaikh al-Albani terhadap Sayyid Quthb yang berjudul Haqqu Kalimati Imam al-Albani fi Sayyid Quthb wa naqdi Ahwaalihi wa Naqdli Aqwaalihi. Risalah ini ditulis untuk mengcounter buku yang berjudul Kalimatu Haqqi lil Muhaddits al-Albani fil Ustadz Sayyid Quthb yang disusun oleh Wa’il Ali al-Battiri dan ditaqdim oeh Syaikh Muhammad Syaqroh, Ahmad al-Manna’i dan DR. Sholah Khalidi. Di  dalam buku ini berisi pujian dan pembelaan terhadap Sayyid Quthb beserta persaksian dan pandangan sebagian ulama dan du’at terhadap Sayid Quthb diantaranya adalah DR. Salman al-‘Audah yang memberikan pujian kepada Fi Zhilaalil Qur’an. Syaikh Ali di dalam risalah ini meluruskan kesalahan-kesalahan buku ini dan membantah syubuhat yang dihembuskan oleh penulisnya. Syaikh Ali menukil kembali ucapan-ucapan Syaikh Albani yang benar secara obyektif dan jujur dan mengcounter nukilan-nukilan al-Battiri. Di antara nukilan-nukilan tersebut adalah :

  • Syaikh Albani rahimahullahu berkata : “Saya berkeyakinan bahwa orang ini (Sayyid Quthb) bukanlah seorang yang ‘alim”. (Kalimatul Haqqi hal. 42-43).

  • Beliau rahimahullahu berkata : “Orang ini (Sayyid Quthb) tidaklah lebih hanya dari seorang penulis, dia adalah seorang yang adib (ahli sastera) yang ulung. Namun dirinya bukanlah orang yang ‘alim oleh karena itu tidaklah aneh apabila keluar dari dirinya sesuatu, sesuatu dan sesuatu yang menyelisihi manhaj yang shahih.” (Kalimatul Haqqi hal. 43)

  • Beliau rahimahullahu berkata : “Kami telah mengatakan lebih dari sekali, bahwa Sayyid Quthb ini bukanlah orang yang ‘alim. Sesungguhnya dirinya adalah orang yang adib dan seorang penulis.” (Kalimatul Haqqi hal. 81) dst…

  • Beliau rahimahullahu juga berkata : “Di dalam buku-buku Sayyid Quthb yang terdahulu, banyak sekali kesalahan-kesalahan ilmiahnya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah maupun masalah ahkam.” (Kalimatul Haqqi hal. 43).

  • Syaikh Albani berkata tentang buku Sayyid Quthb, “Kitab al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah tidak ada nilainya sama sekali secara mutlak…” (Kalimatul Haqqi hal. 61).

[15]. Dan pendapat Imam Abul Hasan al-Asy’ari setelah ruju’nya adalah sebagaimana yang tertuang di dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Ushulid Diyaanah : “Pendapat yang kita berpendapat dengannya dan agama yang kita beragama dengannya adalah : kita berpegang dengan Kitabullah Azza wa Jalla dan dengan Sunnah Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta dengan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kami berpegang dengan itu semuanya, dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dan orang-orang yang menyelisihi ucapannya adalah orang yang sesat…
[16]. Imam Ahmad berkata : “Janganlah kamu bermajlis dengan orang yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk, dan janganlah kamu sholat di belakangnya karena ucapan ini termasuk ucapan Jahm.” (Thobaqot al-Hanabilah karya Abu Ya’la, Juz I/299; dinukil dari Aqo’id A`immatis Salaf  karya Fawwaz Ahmad Zamroli, hal. 44). Beliau juga berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ‘lafazh (bacaanku) terhadap al-Qur’an adalah makhluk maka ia kafir, dimintai taubatnya dan apabila ia bertaubat (maka diampuni) dan apabila tidak bertaubat maka ia dibunuh” (Thobaqot : I/328; dinukil dari Aqoi`d hal. 45).
 


0 komentar:

Posting Komentar

BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA