Kita memiliki tiga
sesi pertemuan yang berbeda. Sesi pertama terjadi di antara waktu
maghrib dan isya’ dan mereka menolak sholat bersama kami –salafiyun-.
Mereka berkata tentang diriku, “kami tidak bersandar (tidak mengakui,
pent.) pada buku-bukumu”, oleh karena itulah mereka tidak
mau sholat di belakangku.
Kenapa??? Karena kami tidak melakukan takfir (menvonis kafir)
terhadap orang-orang yang mereka kafirkan. Ini dalam pertemuan
pertama.
Pertemuan kedua terjadi di hadapan pemimpin mereka dan diskusi
berlangsung hingga tengah malam. Untungnya –alhamdulillah-
dengan diskusi ini mulai tampak tanda-tanda kebaikan pada mereka,
dimana mereka sedikit demi sedikit mulai menerima dakwah kita yang
menyeru kepada al-Haq ini. Jadi, ketika kami memberitahukan
bahwa kami akan melakukan sholat malam pada paruh malam terakhir,
mereka mau sholat di belakang kami. Ini terjadi pada pertemuan
kedua.
Adapun
pertemuan ketiga… diskusi ini berlangsung mulai ba’da sholat
isya’ sampai adzan fajar. Pertemuan ini adalah pertemuan yang
menentukan dan semenjak saat itulah mereka senantiasa menyertai
kami, selama hampir dua belas tahun, alhamdulillah. Semua ini
terjadi disebabkan oleh syubuhat belaka yang berangkat dari
dangkalnya pemahaman mereka terhadap Kitabullah dan
as-Sunnah.
Mungkin
Anda dapat memahaminya wahai al-Akh Khalid (saudara penanya,
pent.), bahwa fiqh (pemahaman) al-Qur’an dan
as-Sunnah tidaklah mudah di zaman kita sekarang ini, terlebih
setelah kita mewarisi beraneka ragam madzhab yang beraneka ragam dan
banyaknya aliran-aliran di dalam aqidah sebagaimana beranekaragamnya
aliran-aliran (madzahib) di dalam fiqh.
Oleh
karena itulah, seorang penuntut ilmu pemula tidak akan mampu
menuntun diri mereka sendiri kepada akar dari segala perselisihan
ini, kecuali hingga ia melewati waktu yang cukup panjang di dalam
mempelajari –apa yang disebut dengan- al-Fiqh al-Muqooron
(fikih perbandingan madzhab) dan mempelajari pula dalil-dalil mereka
yang berbeda-beda dalam ushul dan furu’nya yang
berasal dari berbagai kelompok madzhab.
Pada hakikatnya,
perkara ini memerlukan waktu yang panjang, ini yang pertama. Dan
yang kedua, hal ini memerlukan taufiq dari Alloh Rabbul
‘Alamin, sebelum Alloh mengizinkan seorang muslim untuk
mengaktualisasikan do’a yang ditinggalkan oleh Rasulullah sebagai
suatu sunnah yang patut kita teladani. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa Salam biasa membaca do’a ini di sebagian sholat malam beliau,
yaitu : Allahumma ihdinii fiima-khtulifa fiihi minal haqqi
biidznika innaka laa tahdii man tasyaa’u ilaa shiroothol mustaqiima
(“Ya Alloh, tunjukilah saya kepada yang benar dari apa-apa yang
diperselisihkan manusia dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau
menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”).
Karena semua
inilah, kami menasehatkan kepada para pemuda kami yang sedang tumbuh
sekarang, yang berada di atas madzhab al-Qur’an dan as-Sunnah, agar
mereka tidak boleh tergesa-gesa dan mau merenungkan masalah ini
secara lebih mendalam, dan tidak menghukumi hanya semata-mata dari
dhahir teks semata. Hal ini dikarenakan, tidak selayaknya
seorang muslim berhenti pada setiap makna yang tampak lahiriah (dhahir)
semata, atau jika tidak, kita akan menjadi bingung terhadap ilmu
yang tidak akan ada habisnya…
Saya rasa Anda
pasti tahu bahwa madzhab yang terdekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
adalah madzhabnya ahlul hadits. Andapun tahu bahwa para ulama
hadits mendasarkan periwayatannya kepada beberapa mubtadi’
selama mereka tsiqoh, jujur dan kuat hafalannya. Ini
menunjukkan bahwa para ulama hadits tidak menganggap mereka termasuk
golongan kafir atau golongan yang kita diharamkan bertarahum
kepada mereka. Namun kenyataannya, ada ulama-ulama terkenal yang
diikuti saat ini dan tidak diragukan lagi akan keutamaannya, dan
mereka dianggap sebagai ulama yang ‘alim, walaupun demikian
mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah serta menyelisihi as-Salaf
as-Shalih dalam beberapa hal.
Yang kumaksudkan, sebagai contohnya adalah, an-Nu’man
bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu yang menyatakan bahwa
iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11]
Beliau juga mengatakan, tidak boleh bagi seorang
mukmin mengatakan “saya mukmin insya
Alloh”. Jika orang tersebut mengatakan demikian –“saya mukmin insya
Alloh”- maka ia bukanlah seorang muslim. Tidak ragu lagi ini adalah
pendapat yang baru –bid’ah- di dalam agama[12],
karena pendapat ini menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kendati
demikian, beliau tidaklah bermaksud mengutarakannya sebagai
kebid’ahan, namun beliau berusaha mencari al-Haq namun beliau
tergelincir (kepada kebid’ahan ed.).
Oleh karena itulah,
membuka jalan keragu-raguan kepada para ulama –baik salaf maupun
kholaf- adalah menyelisihi jalannya orang mukminin. Rabb kita,
Alloh Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya:
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS
An-Nisa’ : 115).
[11].
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa : Iman adalah
keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan
anggota tubuh.
Amal
perbuatan dengan segala macamnya, baik amalan hati maupun amalan
anggota tubuh termasuk hakikat keimanan. Kami tidak mengeluarkan
perbuatan, baik besar maupun kecil, dari definisi keimanan. Bukanlah
termasuk ucapan Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Iman adalah
pembenaran hati saja, atau pembenaran dengan ucapan lisan saja,
tanpa perbuatan anggota badan. Barangsiapa yang berkata demikian
maka ia telah sesat! Dan inilah dia madzhabnya Murji'ah yang
buruk!!! Iman itu bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat.
Diantaranya jika ditinggalkan dapat menjadikan kafir, ada pula yang
menyebabkannya berdosa, baik dosa besar maupun kecil, dan ada pula
yang jika ditinggalkan akan kehilangan ganjaran dan pahala yang
berlipat. Iman itu akan bertambah dengan ketaatan hingga dapat
mencapai kesempurnaannya dan akan berkurang dengan kemaksiatan
hingga bisa hilang sama sekali, tak tersisa sedikitpun. (Lihat :
Mujmal Masa’ilil Iman, Masyaikh Markaz Imam Al-Albani, 1421 H.)
[12].
Pendapat ini adalah
pendapat murji’ah yang digolongkan sebagai Murji’ah
Fuqoha’. Murji'ah ada tiga jenis –sebagaimana disebutkan oleh
Masyaikh Markaz Imam al-Albani dalam bookletnya yang berjudul :
Mujmal Masa’ilil Iman yang disetujui oleh 16 ulama ahli sunnah-
sebagai berikut :
-
Jahmiyah Murji'ah yang berpendapat bahwa Iman sebatas pengetahuan (ma'rifat) belaka. Sebagian Imam Salaf mengkafirkan mereka.
-
Karramiyyah yang membatasi keimanan hanya dengan ucapan lisan saja tanpa perlu diyakini dalam hati.
-
Murji'ah Fuqoha' yang berpendapat bahwa iman itu keyakinan dengan hati dan ucapan dengan lisan, namun mereka mengeluarkan amalan dari yang namanya keimanan.
Mereka semua di atas kesesatan walaupun tingkat kesesatannya berbeda-beda, sebagaimana yang telah diperinci oleh Syaikhul Islam -rahimahullahu-.
0 komentar:
Posting Komentar
BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA