006


Kita memiliki tiga sesi pertemuan yang berbeda. Sesi pertama terjadi di antara waktu maghrib dan isya’ dan mereka menolak sholat bersama kami –salafiyun-. Mereka berkata tentang diriku, “kami tidak bersandar (tidak mengakui, pent.) pada buku-bukumu”, oleh karena itulah mereka tidak mau sholat di belakangku. Kenapa??? Karena kami tidak melakukan takfir (menvonis kafir) terhadap orang-orang yang mereka kafirkan. Ini dalam pertemuan pertama.
Pertemuan kedua terjadi di hadapan pemimpin mereka dan diskusi berlangsung hingga tengah malam. Untungnya –alhamdulillah- dengan diskusi ini mulai tampak tanda-tanda kebaikan pada mereka, dimana mereka sedikit demi sedikit mulai menerima dakwah kita yang menyeru kepada al-Haq ini. Jadi, ketika kami memberitahukan bahwa kami akan melakukan sholat malam pada paruh malam terakhir, mereka mau sholat di belakang kami. Ini terjadi pada pertemuan kedua.
Adapun pertemuan ketiga… diskusi ini berlangsung mulai ba’da sholat isya’ sampai adzan fajar. Pertemuan ini adalah pertemuan yang menentukan dan semenjak saat itulah mereka senantiasa menyertai kami, selama hampir dua belas tahun, alhamdulillah. Semua ini terjadi disebabkan oleh syubuhat belaka yang berangkat dari dangkalnya pemahaman mereka terhadap Kitabullah dan as-Sunnah.
Mungkin Anda dapat memahaminya wahai al-Akh Khalid (saudara penanya, pent.), bahwa fiqh (pemahaman) al-Qur’an dan as-Sunnah tidaklah mudah di zaman kita sekarang ini, terlebih setelah kita mewarisi beraneka ragam madzhab yang beraneka ragam dan banyaknya aliran-aliran di dalam aqidah sebagaimana beranekaragamnya aliran-aliran (madzahib) di dalam fiqh.
Oleh karena itulah, seorang penuntut ilmu pemula tidak akan mampu menuntun diri mereka sendiri kepada akar dari segala perselisihan ini, kecuali hingga ia melewati waktu yang cukup panjang di dalam mempelajari –apa yang disebut dengan- al-Fiqh al-Muqooron (fikih perbandingan madzhab) dan mempelajari pula dalil-dalil mereka yang berbeda-beda dalam ushul dan furu’nya yang berasal dari berbagai kelompok madzhab.
Pada hakikatnya, perkara ini memerlukan waktu yang panjang, ini yang pertama. Dan yang kedua, hal ini memerlukan taufiq dari Alloh Rabbul ‘Alamin, sebelum Alloh mengizinkan seorang muslim untuk mengaktualisasikan do’a yang ditinggalkan oleh Rasulullah sebagai suatu sunnah yang patut kita teladani. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam biasa membaca do’a ini di sebagian sholat malam beliau, yaitu : Allahumma ihdinii fiima-khtulifa fiihi minal haqqi biidznika innaka laa tahdii man tasyaa’u ilaa shiroothol mustaqiima (“Ya Alloh, tunjukilah saya kepada yang benar dari apa-apa yang diperselisihkan manusia dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”).
Karena semua inilah, kami menasehatkan kepada para pemuda kami yang sedang tumbuh sekarang, yang berada di atas madzhab al-Qur’an dan as-Sunnah, agar mereka tidak boleh tergesa-gesa dan mau merenungkan masalah ini secara lebih mendalam, dan tidak menghukumi hanya semata-mata dari dhahir teks semata. Hal ini dikarenakan, tidak selayaknya seorang muslim berhenti pada setiap makna yang tampak lahiriah (dhahir) semata, atau jika tidak, kita akan menjadi bingung terhadap ilmu yang tidak akan ada habisnya…
Saya rasa Anda pasti tahu bahwa madzhab yang terdekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah madzhabnya ahlul hadits. Andapun tahu bahwa para ulama hadits mendasarkan periwayatannya kepada beberapa mubtadi’ selama mereka tsiqoh, jujur dan kuat hafalannya. Ini menunjukkan bahwa para ulama hadits tidak menganggap mereka termasuk golongan kafir atau golongan yang kita diharamkan bertarahum kepada mereka. Namun kenyataannya, ada ulama-ulama terkenal yang diikuti saat ini dan tidak diragukan lagi akan keutamaannya, dan mereka dianggap sebagai ulama yang ‘alim, walaupun demikian mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah serta menyelisihi as-Salaf as-Shalih dalam beberapa hal.
Yang kumaksudkan, sebagai contohnya adalah, an-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11] Beliau juga mengatakan, tidak boleh bagi seorang mukmin mengatakan “saya mukmin insya Alloh”. Jika orang tersebut mengatakan demikian –“saya mukmin insya Alloh”- maka ia bukanlah seorang muslim. Tidak ragu lagi ini adalah pendapat yang baru –bid’ah- di dalam agama[12], karena pendapat ini menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kendati demikian, beliau tidaklah bermaksud mengutarakannya sebagai kebid’ahan, namun beliau berusaha mencari al-Haq namun beliau tergelincir (kepada kebid’ahan ed.).
Oleh karena itulah, membuka jalan keragu-raguan kepada para ulama –baik salaf maupun kholaf- adalah menyelisihi jalannya orang mukminin. Rabb kita, Alloh Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya:


Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.(QS An-Nisa’ : 115).


[11]. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa : Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota tubuh. Amal perbuatan dengan segala macamnya, baik amalan hati maupun amalan anggota tubuh termasuk hakikat keimanan. Kami tidak mengeluarkan perbuatan, baik besar maupun kecil, dari definisi keimanan. Bukanlah termasuk ucapan Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Iman adalah pembenaran hati saja, atau pembenaran dengan ucapan lisan saja, tanpa perbuatan anggota badan. Barangsiapa yang berkata demikian maka ia telah sesat! Dan inilah dia madzhabnya Murji'ah yang buruk!!! Iman itu bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat. Diantaranya jika ditinggalkan dapat menjadikan kafir, ada pula yang menyebabkannya berdosa, baik dosa besar maupun kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan akan kehilangan ganjaran dan pahala yang berlipat. Iman itu akan bertambah dengan ketaatan hingga dapat mencapai kesempurnaannya dan akan berkurang dengan kemaksiatan hingga bisa hilang sama sekali, tak tersisa sedikitpun. (Lihat : Mujmal Masa’ilil Iman, Masyaikh Markaz Imam Al-Albani, 1421 H.)
[12]. Pendapat ini adalah pendapat murji’ah yang digolongkan sebagai Murji’ah Fuqoha’. Murji'ah ada tiga jenis –sebagaimana disebutkan oleh Masyaikh Markaz Imam al-Albani dalam bookletnya yang berjudul : Mujmal Masa’ilil Iman yang disetujui oleh 16 ulama ahli sunnah- sebagai berikut :
  1. Jahmiyah Murji'ah yang berpendapat bahwa Iman sebatas pengetahuan (ma'rifat) belaka. Sebagian Imam Salaf mengkafirkan mereka.
  2. Karramiyyah yang membatasi keimanan hanya dengan ucapan lisan saja tanpa perlu diyakini dalam hati.
  3. Murji'ah Fuqoha' yang berpendapat bahwa iman itu keyakinan dengan hati dan ucapan dengan lisan, namun mereka mengeluarkan amalan dari yang namanya keimanan.
    Mereka semua di atas kesesatan walaupun tingkat kesesatannya berbeda-beda, sebagaimana yang telah diperinci oleh Syaikhul Islam
    -rahimahullahu-.

0 komentar:

Posting Komentar

BUDAYAKAN BERKOMENTAR
SARAN DAN KRITIK MENBANTU SAYA DALAM PENULISAN BLOG SELANJUT NYA